sejarah siliwangi
SEJARAH SILIWANGI INDONESIA
Di Bogor, prasasti itu ditemukan
di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah
peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam
prasasti itu dituliskan :“ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji
panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda”.Terjemahannya menurut
Bosch:“Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8)
panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja
Sunda”.Karena angka tahunnya bercorak “sangkala” yang mengikuti ketentuan
“angkanam vamato gatih” (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat
dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.Beberapa ratus meter dari tempat prasasti
itu, ditemukan pula dua prasasti lainnya peninggalan Maharaja Purnawarman yang
berhuruf Palawa dan berbahasa Sangsekerta. Dalam literatur, kedua prasasti itu
disebut Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebon Kopi, sebuah daerah bekas
perkebunan kopi milik Jonathan Rig. Prasasti Ciaruteun semula terletak pada
aliran sungai Ciaruteun, 100 meter dari pertemuan sungai tersebut dengan
Cisadane. Tahun 1981 prasasti itu diangkat dan diletakkan dalam cungkup.
Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, berbunyi:
“vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah
tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam”.Terjemahannya menurut Vogel:
“Kedua (jejak) telapak kaki yang
seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang
termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara”.
Prasasti Ciaruteun bergambar
sepasang “pandatala” (jejak kaki). Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda
kekuasaan yang berfungsi mirip “tanda tangan” seperti jaman sekarang. Kehadiran
prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk
kawasan kekuasaannya. Menurut “Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara” parwa II,
sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan
Purnawarman (395-434 M) terdapat nama “Rajamandala” (Raja daerah) Pasir Muhara.
Lahan tempat prasasti itu
ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang
sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih
dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta
Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Prasasti Telapak Gajah bergambar
sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi
berbunyi:
“jayavi s halasya tarumendrsaya
hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam”
(Kedua jejak telapak kaki adalah
jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa
Tarumanagara yang jaya dan berkuasa).
Menurut mitologi Hindu, Airawata
adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur.
Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang
Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan
diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga
teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman
berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang
lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing
perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai
perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli
diduga sebagai “huruf ikal” yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai
sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada
yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi
surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang
bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang “bhramara” (lebah) sebagai cap pada
mahkota Purnawarman dalam segala “kemudaan” nilainya sebagai sumber sejarah
harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
Di daerah Bogor, masih ada satu
lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang
terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang.
Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang
telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris :
“shriman data kertajnyo
narapatir – asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara
fedyavikyatavammo tasyedam – padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham
bhaktanam yangdripanam – bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam”.
Terjemahannya menurut Vogel :
“Yang termashur serta setia
kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang
memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah
musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu
berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan
kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya”.
Kerajaan Taruma didirikan
Rajadirajaguru Jayasingawarman dalam tahun 358 M. Ia wafat tahun 382 dan
dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi). Ia digantikan oleh puteranya,
Dharmayawarman (382 – 395 M) yang setelah wafat dipusarakan di tepi kali
Candrabaga. Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395 – 434 M). Ia
membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke
pantai dan dinamainya “Sundapura”.
Kampung Muara tempat prasasti
Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah “kota pelabuhan
sungai” yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten.
Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil
perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut
barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti Pasir Muara yang
menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat
tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah
Suryawarman (535 – 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I,
sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan
Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang
menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas
kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman
melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakeyan Juru Pengambat yang
tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi
Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan
di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai
pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah
itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang
termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Nama Sunda mulai digunakan oleh
Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut ibukota kerajaan yang
didirikannya. Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon
memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti
Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula
pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 – 162)
menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang
membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang)
sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional
Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa
Barat pada masa silam.
Kehadiran Prasasti Purnawarman
di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan
gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan
daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke
tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau
Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150
M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman
(dari Dewawarman I – VIII).
Ketika pusat pemerintahan
beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status
menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu
Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India
yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja
Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Suryawarman tidak hanya
melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak
kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga
mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya,
Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah
Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal
bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan
Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika
cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara sendiri hanya
mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Dalam tahun 669, Linggawarman, raja
Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri
mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa
dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa
pendiri Kerajaan Sriwijaya.
Tarusbawa yang berasal dari
Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara
yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia
ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba
(ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi
Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri
Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Karena Putera Mahkota Galuh
berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga, Jawa
Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa
supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin
menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun
670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi duakerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas.
Maharaja Tarusbawa kemudian
mendirikan ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian
sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu Cipakancilan. Dalam cerita
Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di
Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakalbakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai
tahun 723 M.
Karena putera mahkota wafat
mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama
Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah
yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit
Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia
dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan
Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.
Sebagai ahli waris Kalingga ia
kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun
732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana,
Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran,
putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi
Sambara.
Telah diungkapkan di awal bahwa
nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di
daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat
(4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada
aliran Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar
Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini
adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang
disimpan di Museum Pusatdengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D
98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita 952
karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka
diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen
wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana
wikra-mottunggadewa, ma-
D 96 : gaway tepek i purwa
sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan
hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah.
Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang
tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti
pagepageh. mangmang sapatha.
D 97 : sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.Terjemahannya :
Selamat. Dalam tahun Saka 952
bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku
Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat
oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di
sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas
daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas
daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah
prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Sumpah yang diucapkan oleh Raja
Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris,
intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi
keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan
penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap
otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya.
Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, “I wruhhanta kamung hyang kabeh”
(Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
Kehadiran Prasasti Jayabupati di
daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda
terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada
bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama
halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir
Koleangkak yang tidakmenunjukkan letak Ibukota Tarumanagara.
Tanggal pembuatan Prasasti
Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa
III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 – 964) saka (1030
-1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak
hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar
raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita
Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda
ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.
Telah diungkapkan sebelumnya,
bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun
670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Cina yang menyebutkan bahwa utusan
Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M.
Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada
Raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang
bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.
Tarusbawa adalah sahabat baik
Bratasenawa alis Sena (709 – 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini adalah tokoh
Sanna, ayah Sanjaya dalam Prasasti Canggal (732 M). Persahabatan ini pula yang
mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias
Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M.
Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang
Gurusempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu
Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sebenarnya Purbasora dan Sena
adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri
Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi
Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat
jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari
Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh.
Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora
untuk merebut tahta Galuh dari Sena.
Dengan bantuan pasukan dari
mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerjaan di daerah Cirebon sekarang,
Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena melarikan diri ke Kalingga,
ke kerajaan nenek isterinya, Maharani Simma. Sanjaya, anak Sena, berniat
menuntut balas terhadap keluarga Pubasora. Untuk itu ia meminta bantuan
Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang
memerintah atas nama isterinya.
Sebelum itu ia telah menyiapkan
pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga
sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan
pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan
diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil
meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama
segelintir pasukan.
Patih itu bernama Bimaraksa yang
lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati
kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama
Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun
karena menderita “kemir” atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung
Gegegr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia
mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar
Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai
pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sanjaya mendapat pesan dari
ayahnya, Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya
harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh.
Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil
mengalahkanPurbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung
dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi Penguasa
Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau
hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sanjaya sendiri tidak bisa
menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya
Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia
menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja
Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di
Galuh ia menganngkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat
itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M),
ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan
bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.
Penunjukkan Premana oleh Sanjaya
cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum,
adalah cucu Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan
Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.
Pasangan Premana dan Naganingrum
sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia
baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah
dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian
hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan
mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan
Manarah untuk melakukan pembalasan.
Untuk mengikat kesetiaan Premana
Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh
ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya
menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin “garnizun”
Sunda di ibukota Galuh.
Premana Dikusumah menerima
kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena
Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan
yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya.
Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena
mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.
Kedudukan Premana serba sulit,
ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk
kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka
ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda
sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep.
Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus
menjadi “mata dan telinga” Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya,
Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep,
istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).
Skandal itu terjadi karena
beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan
kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah
berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa;
ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai
orang Sunda di Galuh kurang disenangi.
Untuk menghapus jejak Tamperan
mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya
sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium
oleh senapati tua Ki Balangantrang.
Dalam tahun 732 M Sanjaya
mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan
kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan,
dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan
Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan, putera
bungsu Sempakwaja.
Demikianlah Tamperan menjadi
penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 – 739 M.
Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana
perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger
Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan
seperti anak sendiri.
Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh
dilakukan sianghari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar
kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam
gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten
menyerang keraton.
Kudeta itu berhasil dalam waktu
singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Sanjaya berhasil menguasai Galuh
dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat
ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam
harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.
Akan tetapi hal itu diketahui oleh
pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah
pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhirdengan kekalahan Banga.
Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan
panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.
Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika
itu memerintah di Medang yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba
Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan
yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah
berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah
dipecundangi Sanjaya.
Perang besar sesama keturunan
Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Rajaresi Demunawan (lahir 646 M,
ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai
kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun739 ini, Sunda dan Galuh yang selama
periode 723 – 739 berada dalam satukekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian
itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang
senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap
hidup atas kebaikan hati Manarah.
Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan
dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu
Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai
Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan
Kancanasari, adik Kancanawangi.
Naskah tua dari kabuyutan
Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14
memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini
dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang
merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang
diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan
Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 – 766).
Manarah di Galuh memerintah
sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan
manurajasuniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa
sampai akhir hayat, dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam naskah-naskah babad,
posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana
Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam penempatan mereka sebagai raja.
Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh
Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah
Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan abad 18.
Kekeliruan paling menyolok dalam
babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit.
Padahal, Majapahit baru didirikan Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah
Banga wafat. Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan
Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad.
Keturunan Manarah putus hanya
sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 – 852). Tahta Galuh
diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon
(819 – 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari
Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu
diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan di antara para
kerabat keraton:
Sunda -Galuh-Kuningan (Saunggalah).
Sunda -Galuh-Kuningan (Saunggalah).
Sri Jayabupati yang prasastinya
telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang
Ageng (1019 – 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat
Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri Darmawangsa, adik
Dewi Laksmi isteri Airlangga. Dan Karena pernikahan tersebut Jayabupati
mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Darmawangsa. Gelar itulah yang
dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati pernah
mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda
keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan
yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Darmawangsa. Pada
puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam
kekecewaan karena harus “menyaksikan” Darmawangsa diserang dan dibinasakan oleh
Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan
itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap
netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta (disimpan
di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Komentar
Posting Komentar